Krisis Petani Kecil di Indonesia, Mengapa Sulit Sejahtera?

Ilustrasi Gambar para petani indonesia, sumber gambar diambil dari google image dan di desain kembali oleh team blognateya 

BLOGNATEYA.COM - Indonesia - Julukan "Negeri Agraris" bagi Indonesia tampaknya perlahan mulai pudar. Fenomena ini semakin terlihat dengan semakin berkurangnya jumlah petani muda yang dapat menjadi regenerasi pendorong sektor pertanian nasional. Bahkan, negeri yang dikenal sangat subur ini diprediksi bakal mengalami krisis petani dalam kurun waktu 10-15 tahun ke depan.

Dalam tiga tahun terakhir, jumlah petani di Indonesia terus mengalami penurunan. Hal ini terjadi karena munculnya stigma di masyarakat bahwa profesi pertanian menjadi kurang menjanjikan. Akibatnya, kaum muda enggan terjun ke bidang pertanian, sehingga jumlah petani semakin menurun setiap tahunnya. Para petani di Indonesia umumnya memiliki penguasaan lahan yang sangat sempit, bahkan di bawah satu hektar. Selain itu, masih banyak faktor yang menjadi hambatan bagi mereka untuk sejahtera, sehingga para petani kecil sulit untuk berkembang.

Menurut laporan detiknews.com, jumlah Rumah Tangga Petani (RTP) di Indonesia hasil sensus tahun 2018 mencapai 27 juta orang. Mereka kebanyakan adalah petani kecil dengan penguasaan lahan rata-rata 0,5 hektar. Di Pulau Jawa, penguasaan lahan petani rata-rata hanya 0,36 hektar. Meskipun kecil, peranan mereka dalam pemenuhan kebutuhan pangan nasional sangat besar. Para petani ini yang selama ini memenuhi kebutuhan nasional akan beras, jagung, sayur-sayuran, buah-buahan, dan lainnya.

Namun, berbagai masalah terus menghantui para petani kecil yaitu:

Pertama, mereka sangat bergantung pada input produksi seperti benih, pupuk, dan obat hama penyakit yang harganya fluktuatif dan sering kali mengalami kelangkaan. Kebutuhan akan pupuk dan obat-obatan kimia terus meningkat seiring dengan penurunan kualitas tanah akibat penggunaan bahan kimia dalam jangka waktu yang lama. Kondisi ini diperparah dengan hilangnya plasma nutfah alami akibat praktik pertanian monokultur.

Kedua, praktik pertanian yang menggunakan bahan kimia menghasilkan produk pertanian yang mengandung residu berbahaya, yang berdampak pada menurunnya kualitas kesehatan di pedesaan. 

Ketiga, para petani tidak memiliki modal yang cukup. Pendapatan dari hasil panen hanya cukup untuk membayar pinjaman biaya produksi ke tengkulak, yang mereka pilih karena akses ke lembaga keuangan formal terkendala persyaratan jaminan.

Keempat, petani telah terbiasa dengan praktik pertanian instan akibat revolusi hijau yang memaksa mereka kehilangan kemampuan tradisional dalam memilih benih, membuat pupuk, dan obat-obatan alami. 

Kelima, para ilmuwan seakan tidak memiliki solusi lain selain pendekatan subsidi pupuk dan harga, yang justru tidak efektif untuk memajukan petani kecil.

Keenam, petani kecil tidak memiliki kuasa dalam menentukan harga jual hasil panen yang ditentukan oleh para pengumpul dan pedagang, sehingga margin keuntungan besar dinikmati oleh mereka, bukan petani.

Ketujuh, penggunaan tenaga manusia dalam menyiram dan menyemprot hama yang tidak efisien dan efektif.

Untuk mengatasi masalah ini, para petani kecil harus berani keluar dari keyakinan dan metodologi yang salah, serta melakukan transformasi secara mendasar. Seperti yang dilakukan oleh para petani muda di Desa Gobleg, Singaraja, Bali, dengan spirit "Petani Muda Keren". Transformasi ini menjadi contoh bagaimana pertanian bisa menjadi lebih sejahtera dan berkelanjutan. 

Semoga langkah-langkah transformasi seperti ini dapat menjadi inspirasi bagi petani-petani kecil lainnya di Indonesia.(RG)

Sumber Informasi : Dilansir dari channel youtube Sahabat Petani Indonesia, kami kemas kembali menjadi satu artikel yang menarik pembaca sebagai edukasi, artikel ini dibantu dikembangkan oleh chatgptai.

Posting Komentar untuk "Krisis Petani Kecil di Indonesia, Mengapa Sulit Sejahtera?"