Kata KOPROL dalam Dinamika Birokrasi dan Politik Gorontalo

Ilustrasi Gambar diambil dari google image dan di desain by blognateya 

BLOGNATEYA.COM - Dalam beberapa tahun terakhir, kata "KOPROL" telah menjadi bagian dari percakapan sehari-hari masyarakat Gorontalo. Kata yang sebelumnya hanya dikenal dalam dunia olahraga kini digunakan dalam berbagai situasi dan oleh berbagai kalangan masyarakat.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), "koprol" berarti "gerakan berguling ke depan". Namun, dalam perkembangan terbaru, kata ini memiliki makna yang jauh berbeda. Kita sering mendengar ungkapan seperti “pejabat koprol”, “proposal koprol”, “program koprol”, “pertanyaan koprol”, “cerita koprol”, “politik koprol”, atau “aspirasi koprol”. Bahkan dalam kalimat panjang seperti: “kalau ingin jabatan tertentu, kenapa harus koprol?”.

Penggunaan kata koprol dalam berbagai kalimat tersebut mengisyaratkan makna baru, yaitu upaya mempengaruhi, namun berbeda dari konsep kepemimpinan. Kepemimpinan mengacu pada usaha mempengaruhi bawahan, sedangkan koprol adalah cara bawahan mempengaruhi atasan. Meski begitu, definisi ini masih belum cukup karena kita juga sering mendengar istilah “pimpinan koprol” atau “politisi koprol kepada rakyat”. Untuk menghindari kesan negatif dari kata "koprol" yang mungkin diartikan sebagai "menjilat", mungkin lebih tepat jika diartikan sebagai “atraksi” yang bertujuan menarik perhatian, baik dari atasan maupun bawahan.

Makna "koprol" memang dapat berbeda-beda tergantung pada konteks dan interpretasi masing-masing orang. Namun, yang jelas adalah asosiasi kata "koprol" dengan bahasa birokrasi dan politik semakin kuat. Tidak jelas siapa yang pertama kali menggunakannya, tetapi penulis percaya bahwa awalnya kata ini digunakan sebagai bahasa simbolik untuk menyembunyikan makna negatif atau rahasia di baliknya. Mirip dengan penggunaan istilah “apel malang” dan “apel washington” yang digunakan untuk menyamarkan “uang rupiah” dan “uang dolar” dalam kasus korupsi. Kini, "koprol" telah menjadi istilah yang dikenal luas dalam birokrasi dan politik Gorontalo.

Jika "koprol" diterima sebagai terminologi baru dalam komunikasi birokrasi dan politik, maka kita tidak bisa lepas dari kesan negatif. Seseorang yang menggunakan cara "koprol" mungkin akan mencapai tujuan politik atau kariernya dengan cara yang tidak selalu sejalan dengan kualitas atau kapabilitas. Hal ini menjadi masalah serius jika tindakan tersebut menghasilkan kebijakan atau pilihan yang bertentangan dengan aturan dan regulasi birokrasi dan politik.

Di tengah upaya untuk mereformasi birokrasi dan memperbaiki iklim politik, "koprol" menjadi tantangan besar yang mengancam prinsip egaliter dalam pemerintahan dan demokrasi yang substantif. Meskipun kata "koprol" mungkin baru, cara-cara yang diwakilinya sebenarnya sudah lama ada dalam praktik sehari-hari.

Artikel ini mengajukan hipotesa tentang hubungan antara jabatan karier dan kekuasaan politik. Birokrat cenderung menggunakan cara-cara politis untuk memajukan karier mereka, sementara penguasa menawarkan jabatan untuk memuluskan ambisi politik mereka. Hipotesa ini bisa menjelaskan asal mula nepotisme, sebuah praktek simbiosis mutualisme yang dilarang oleh undang-undang korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Setiap zaman melahirkan bahasa baru, tetapi jika kita mengingat pepatah “bahasa menunjukkan bangsa”, maka jelas bahwa "koprol" mencerminkan kemunduran dalam sistem birokrasi dan politik kita.

Sumber informasi : Artikel  asli di tulis oleh seorang Penulis gorontalo Bapak Risman K. Umar dalam halaman website kompasiana tanggal (19/11/2013), kemudian kami sajikan lagi ke pembaca salam sebuah artikel Sebagai Opini, dengan merubah sedikit tulisan di dalamnya. Artikel ini kami tulis dibantu dan dikembangkan oleh chatgptai

Posting Komentar untuk "Kata KOPROL dalam Dinamika Birokrasi dan Politik Gorontalo"